Tampilkan postingan dengan label Kurikulum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kurikulum. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Februari 2018

Dengan Topaz, SDI Babadan Gelar Olimpiade


KABAR SDI - Bekerja sama dengan sebuah lembaga bimbingan belajar,  Topaz Global Education,  SD Islam mengadakan olimpiade tingkat SD. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada Minggu (15/10/2017).

Banyak siswa-siswi SD di wilayah Kecamatan Wlingi dan sekitarnya
Yang turut serta.  Dalam olimpiade itu,  peserta mengerjakan soal dari panitia.

Beberapa siswa yang masuk peringkat tertentu bakal dibawa ke tingkat selanjutnya. Yakni, mengikuti olimpiade di Sidoarjo, Jawa Timur.

Dalam olimpiade di Sidoarjo tersebut,
yang terpilih bakal bersaing dengan peserta dari kabupaten lainnya.  Sistem yang digunakan sama.  Yakni sistem tulis.

Sementara itu,  Kepala SD Islam Drs Najib berharap kegiatan tersebut mampu memberikan pengalaman iklim berkompetisi yang baik.  Selain itu,  para siswa dapat mengetahui kemampuan akademik mereka.
Dengan begitu,  kekurangan dan kemampuan yang belum dikuasai bisa ditutupi.  Yakni,  melalui kegiatan belajar dengan rajin. (fer)

Berikut dokumentasi persiapan dan pelaksanaan olimpiade tersebut:

    
(Foto: SD Islam Babadan)

Rabu, 09 Maret 2016

KELOMPOK KERJA KEPALA SEKOLAH (KKKS)
JADWAL ULANGAN TENGAH SEMESTER II TAHUN 2015/2016
KEC. WLINGI KAB. BLITAR

 SENIN, 14 MARET 2016       07.00- 09.00  BAHASA INDONESIA 
                                                  09.30- 11.00  PEND. AGAMA

SELASA, 15 MARET 2016    07.00- 09.00  MATEMATIKA
                                                  09.30- 11.00  PKN

RABU, 16 MARET 2016        07.00- 09.00  IPA
                                                  09.30- 11.00  B. DAERAH

KAMIS, 17 MARET 2016      07.00- 09.00  IPS
                                                  09.30- 11.00  BAHASA INGGRIS

Informasi PPDB SD Islam Tahun 2016/2017


Syarat Pendaftaran:
1. Sehat Jasmani dan rohani
2. Telah lulus TK/RA atau berusia minimal 6 tahun saat mendaftar
3. Memiliki Ijasah atau STTB asli
4. Mengisi Formulir Pendaftaran (Formulir Pendaftaran dapat diunduh DISINI)

Tata cara pendaftaran:
1. Mengisi formulir pendaftaran (formulir pendaftaran dapat diambli secara perorngan atau kolektif di sekolah)
2. menyerahkan berkas pendaftaran, meliputi:
- formulir pendaftaran
- fotocopy ijazah TK/RA yang telah dilegalisir rangkap 1
- fotocopy akta kelahiran angkap 1
- fotocopy KK rangkap 1
- bagi yang memiliki kartu BSM, PKH, & KPS dapat ikut disertakan berupa fotocopy rangkap 1
3. semua berkas dimasukkan kedalam map kertas warna merah.

Program ekstra dan pengembangan diri:
1. Pramuka
2. Sholawat
3. Bola Voli
4. Sepakbola
5. Athletik

Brosur PPDB SD Islam Babadan Tahun ajaran 2016/2017 dapat diunduh DISINI

 





Kamis, 03 Maret 2016

Pendidikan yang "Memerdekakan" dan "Membangkitkan", Bukan yang "Cupu"...

lagi- lagi kita perlu menemukan referensi untuk menciptakan sebuah metode pendidikan yang mapan yang sesuai dengan sosial budaya masyarakat sekitar, artikel di bawah ini munkin dapat menginspirasi. 
M Latief/KOMPAS.comJika siswa masih menganggap UN sebagai momok, masih menganggap juara olimpiade sains lebih bergengsi dibandingkan juara lomba drama, bila profesi PNS atau bekerja di perusahaan multi nasional dianggap lebih fancy daripada punya gerai ayam goreng yang dibangun dan dikelola sendiri, rasanya pendidikan kita malah justru mengkerdilkan dan bukan memerdekakan bangsa ini.
Oleh Indy Hardono

KOMPAS.com
 - Sebutlah namanya Radit, siswa berusia 18 tahun. Radit diterima di fakultas hukum perguruan tinggi negeri (PTN) ternama melalui jalur undangan tanpa tes. Radit sebetulnya ragu, apakah memang itu bidang studi yang akan dia geluti? Tapi, karena "tekanan" pihak sekolah yang mengatakan bahwa kalau dia tidak mengambil kesempatan itu, pihak sekolah akan menanggung akibatnya. Ya, di tahun berikutnya nanti, adik-adik kelasnya tidak akan mendapat kesempatan masuk lewat jalur undangan.

Tak hanya itu, "Tekanan" juga datang dari orang tuanya, seorang pengacara papan atas. Si orang tua memegang prinsip dari peribahasa lama bahwa 'buah apel tidak jatuh jauh dari pohonnya'. 

Radit akhirnya masuk ke fakultas hukum. Baru dua semester dia menjalani studinya itu, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk keluar dan pindah ke jurusan seni yang sebetulnya bidang yang benar-benar dia inginkan. 

Lain Radit, lain juga Mira, sebutlah begitu namanya. Usianya juga 18 tahun. Mira juga diterima di fakultas ekonomi jurusan manajemen salah satu PTN terkenal. Tapi, akhirnya dia memilih masuk ke sekolah tinggi swasta yang relatif baru dan mengkhususkan diri pada bidang studi kewirausahaan. 

Mira mengambil keputusan itu karena memang punya 'passion' kuat menjadi seorang pengusaha. Keputusan itu diambil walaupun harus diiringi tangis sang ibu dan muka masam sang ayah. Kedua orang tuanya menganggap bahwa memilih sekolah tinggi ketimbang PTN ternama adalah keputusan bodoh! Ya, keputusan yang bodoh! 

Sadarkah kita, berapa banyak orang tua yang merayakan keberhasilan anaknya meraih nilai Ujian Nasional (UN) tertinggi? Berapa banyak orang tua merayakan keberhasilan anaknya  diterima di universitas favorit? 

Tapi, coba bandingkan, berapa banyak orang tua mau merayakan anaknya yang masuk sekolah kejuruan atau merayakan anaknya yang memutuskan masuk jurusan arkeologi, padahal sang ibu adalah dosen fakultas teknik? 

Afrian Malik/KOMPAS.comPresiden Jokowi berfoto bersama para siswa peserta ujian nasional (UN) seusai melakukan sidak bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan di SMAN 2 Jakarta, Selasa (14/4/2015).
Normatif dan dogmatis 

Sejak 1945 kita, orang Indonesia, memang sudah 'merdeka'. Kita memang sudah 'bangkit' sejak 1908. Tapi, apakah pendidikan kita sekarang sudah bisa dikategorikan sebagai pendidikan yang 'memerdekakan'. Apakah terasa bahwa pendidikan kita saat ini adalah yang 'membangkitkan' anak-anak bangsa? Anak-anak kita?

Jujur saja. Saat ini masih banyak siswa yang tidak 'merdeka' dalam mengeksplorasi minat mereka, mengeksplorasi sesuatu yang berbeda hanya karena dibatasi oleh norma-norma yang mengatakan bahwa "Kalau bukan jurusan eksakta, maka kamu tidak termasuk anak cerdas. Kalau tidak lulus UN, maka 'klaar' hidupmu!". 

Adalah menjadi tontonan rutin di televisi ketika para siswa mulai SD sampai SMA menangis sesenggukan pada saat doa bersama menjelang UN, karena UN begitu disakralkan. UN dianggap sebagai momok, kesulitan dan 'ancaman' , meski tahun ini hal itu sudah mulai berubah. 

Anggapan setelah lulus S-1, maka si anak 'harus' S-2 dan setelah itu S-3 sudah menjadi suatu hal lumrah. Banyak para lulusan S-1, ketika ditanya alasannya meneruskan ke jenjang S-2, maka sebagian besar menjawab, "Karena saya sudah lulus S-1!". 

Bahkan, untuk lulusan S-2, jika ditanya alasanya meneruskan ke jenjang S-3, maka jawabannya adalah, "Karena saya sudah lulus S-2!". 

Rasanya, tidak banyak orang menyadari bahwa ada tanggung jawab akademis yang diemban seseorang anak setelah meraih gelar doktor. Karena, gelar doktor seyogiyanya bukan sekedar untuk 'mempercantik' CV, bukan semata untuk kepentingannyaleg, apalagi nyapres!.

Ya, pendidikan kita memang masih bersifat normatif. Bahkan, pendidikan agama yang seharusnya sarat muatan eksploratif dan analitis, akhirnya hanya bersifat dogmatis dan normatif. Bagaimana mungkin tingkat ketakwaan hanya diukur dari sisi 'knowledge', dan bukan penerapan nilai-nilai agama itu sendiri? 

Cobalah memberi kuliah atau seminar di universitas-universitas di negeri ini. Coba kita amati barisan kursi yang manakah yang terisi terlebih dahulu? Coba kita amati, apakah kita langsung dibombardir dengan pertanyaan setelah selesai presentasi? 

AFP PHOTO / ROMEO GACADPara murid SMA bersukacita setelah selesainya Ujian Nasional di SMA Negeri 3 Jakarta, 16 April 2014.
Entah mengapa, mulai forum-forum seminar di hotel berbintang, sampai kuliah umum di universitas ternama, kursi deretan paling belakanglah yang selalu terisi lebih dulu. Lalu, entah mengapa, siswa baru berani bertanya jika sudah ada yang bertanya lebih dulu. Mereka takut salah, takut pertanyaannya dianggap tidak berkualitas, --yang dalam bahasa anak zaman sekarang disebut 'culun punya' alias 'cupu', sehingga memborgol pertanyaan dan rasa ingin tahu yang mungkin sudah ada di benak mereka. Buntu! 

Sebaliknya, banyak dosen di universitas-universitas di luar negeri mengeluhkan minimnya keaktifan mahasiswa Indonesia dalam bertanya atau berpendapat, apalagi berdebat di ruang kuliah. Padahal, justru melalui hal itulah dinamika 'pencarian ilmu' dan proses pencerahan berlangsung. 

Kalau siswa masih menganggap UN sebagai momok, jika siswa masih menganggap juara olimpiade sains lebih bergengsi dibandingkan juara lomba drama, bila profesi PNS atau bekerja di perusahaan multi nasional dianggap lebih fancy daripada punya gerai ayam goreng yang dibangun dan dikelola sendiri, rasanya pendidikan kita malah justru mengkerdilkan dan bukan memerdekakan bangsa ini.

Daya saing global dan pendidikan yang merdeka 

Pendidikan seharusnya memberi kemerdekaan untuk menginterpretasikan keinginan, ambisi, dan semangat tanpa dibatasi pakem, bahkan 'norma'. Pendidikan yang memerdekakan seharusnya memberi ruang untuk siswa berani menentukan keputusan sendiri, berkreasi,dan mengambil risiko. Pendidikan yang memerdekakan akan bermuara pada kebangkitan!

Soekarno, Habibie, Gus Dur, Hatta, bukanlah produk dari pendidikan yang kerdil. Mereka beruntung dapat berguru dari sumber ilmu yang memberi ruang bagi ide-ide 'gila' dan 'nyeleneh'. Nasionalisme, industri strategis, pluralisme dan ekonomi kerakyatan adalah buah pendidikan yang memerdekakan siswa didik. 

Semakin terbukanya dunia, maka siswa semakin dituntut memiliki mental eksploratif, kreatif dan kritis. Bagaimana mungkin kita bisa unggul di tingkat global dan regional, jika pola pendidikan kita masih terkukung oleh pendidikan kognitif semata, yang tidak membangkitkan sisi rasa dan humanisme? 

Khalifah 
Allah SWT bersabda: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau? Dia berkata: Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS Al Baqarah :30).

Tuhan tentu punya misi khusus bagi manusia. Tuhan menciptakan manusia menjadi 'alat-Nya' untuk menyatakan Kuasa-Nya yang masih Dia 'sembunyikan' dalam alam ini. Manusia diharapkan dapat membongkar rahasia semesta. Rahasia kebesaran Allah SWT. Karena itulah, manusia dijadikan "khalifah". Di situlah letak kemuliaan kita sebagai mahluk-Nya.

Dengan prinsip itulah, sekali lagi, harusnya kita sadar bahwa pendidikan yang memerdekakan dan membangkitkan bukanlah pendidikan kerdil yang menghasilkan manusia berkarakter Firaun dan berkarakter iblis, yang terus menerus merusak bumi dan isinya.

Terinspirasi pembahasan buku "Pustaka Wedha Sasangka", pendidikan yang memerdekakan dan membangkitkan adalah pendidikan yang melahirkan para khalifah, para prabu, yaitu manusia-manusia matang dan unggul. Pendidikan yang memerdekakan dan membangkitkan adalah pendidikan yang juga melahirkan para rahadian, yaitu manusia-manusia unggul dan menang, bukan manusia-manusia cupu

Selamat memaknai Hari Kebangkitan Nasional!

Penulis adalah pemerhati pendidikan dan bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta
Penulis: Latief
Editor: Latief
sumber:http://edukasi.kompas.com/read/2015/05/20/11224131/Pendidikan.yang.Memerdekakan.dan.Membangkitkan.Bukan.yang.Cupu.?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd

Guru Abad 21, Belajarlah dari Cokroaminoto, Ki Hajar dan Muslimah...



Oleh Indy HardonoKOMPAS.com - Pada beberapa buku dan literatur 'Soekarno Sang Proklamator' banyak menyebut nama HOS Cokroaminoto sebagai guru sejatinya. Tidakkah kita penasaran dan bertanya, guru seperti apa yang "menghasilkan" murid sekaliber Soekarno, seorang tokoh besar yang mungkin tidak lahir setiap seratus tahun sekali?

Soekarno menceritakan betapa dirinya belajar banyak dari Cokroaminoto melalui "gelontoran" buku-buku bacaan cukup berat. Buku-buku yang tidak ada habisnya pada saat ia masih berusia 15 tahun.

Ya, dari Cokroaminoto itulah pemuda Soekarno belajar mengarungi luasnya dunia literatur di zaman belum ada internet. Dari Cokroaminoto pulalah pemuda Soekarno belajar bahwa ilmu tidak berbatas, dan hanya niat untuk maju yang membuat seseorang sadar bahwa setiap orang dapat berkelana tanpa batas mencari ilmu (global wareness).

Guru sebagai model dan inspirasi Cokroaminoto bukan "mengajar', tapi dia menjadi inspirasi. Dia menjadi "model" bagi muridnya. Kata bijak Cokroaminoto yang paling terkenal adalah: "Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat, menunjukkan integrasi komprehensif antara ilmu akademis, aplikatif, beretika dan bermoral".

Bisa dibayangkan, pendidik sekaliber apakah seorang Cokroaminoto?

Tentu saja, Cokroaminoto bukan sekadar "mengajar", tapi dia mendorong muridnya untuk berpikir kritis (critical thinking). Dia melatih mereka agar melihat semua hal dari berbagai perspektif.

Tak heran, dari tangannya lahir tokoh-tokoh nasional yang mempunyai "warna" berbeda-beda. Sebut saja Semaun dan Kartosuwiryo, selain tentu saja Soekarno. Ketiganya adalah "produk" seorang guru yang memberi ruang seluas-luasnya bagi anak didiknya untuk mengeksplorasi buah pikir, ide, dan gagasan-gagasan, walaupun gagasan itu bisa jadi jauh darimainstream dan kontroversial.

Cokroaminoto bukan "mengajar", tapi dia mendorong anak didiknya untuk bisa menentukan tujuannya sendiri (self direction). Ia tidak pernah takut menjadi berbeda dan memiliki warna sendiri, walaupun risikonya adalah penolakan dan perlawanan dari lingkungan (risk taker).

Di luar segala kontroversi tentang tokoh-tokoh tersebut, bisa dilihat keberagaman murid-murid Cokroaminoto: Soekarno yang nasionalis, Semaun yang sosialis, dan Kartosuwiryo yang Islam fundamentalis.

Guru sebagai among dan pamong

Guru yang hebat bukanlah guru yang mengharuskan muridnya memberi warna merah untuk bunga mawar atau biru untuk laut. Guru yang hebat bukan karena semua muridnya pemenang olimpiade Matematika, bukan karena semua muridnya diterima di perguruan tinggi negeri. Bukan juga karena semua muridnya jadi dokter atau insinyur. Guru yang hebat bukan pula yang menghasilkan murid "seragam", tapi murid yang "beragam".

Masih ingat cerita ibu Muslimah yang menjadi inspirasi penulis novel 'Laskar Pelangi'? Masih ingat Harun, salah seorang muridnya yang menderita down syndrome?

Muslimah bersedia mendedikasikan waktu, usaha dan kesabaran ekstra bagi Harun. Muslimah meng’among’ murid berkebutuhan khusus itu jauh sebelum konsep insklusi bagi anak-anak berkebutuhan khusus diterapkan di sistem pendidikan modern.

Pada saat sekolah terancam ditutup karena kurang biaya operasional, Muslimah berdiri paling depan untuk memperjuangkan agar sekolah tetap berdiri. Dia tunjukkan jiwa kepemimpinannya.

Kita mengenal Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, yang sudah sejak lama mengusung konsep luar biasa tentang guru berkualitas. Guru sebagai among dan pamong. Muslimah adalah salah satu contoh itu, yaitu bagaimana seorang guru berperan ganda sebagai among dan pamong (leader) pada saat yang bersamaan.

Salah seorang mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah S-2 di Belanda bercerita tentang kagumnya dia dengan attitude para dosen di sana yang sangat mudah dihubungi. Bahkan, seorang dosen tak segan membalas missed call dari mahasiswa yang ingin bertemu sekedar untuk menyampaikan kekhawatirannya tidak dapat mengikuti perkuliahan yang dianggap berat.

Tak hanya itu. Mahasiswa lain juga bercerita bagaimana para dosen di Belanda tidak merasa direndahkan apabila mahasiswa mengkritisi atau mengajaknya berdebat. Bagi mereka mengajar bukan sekedar teaching tapi juga learning. Dosen juga harus belajar.

Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Penulis adalah pemerhati pendidikan dan bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta
Editor: Latief
Sumber:http://edukasi.kompas.com/read/2015/05/03/08000041/Guru.Abad.21.Belajarlah.dari.Cokroaminoto.Ki.Hajar.dan.Muslimah.?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd

Bacalah, Maka Kamu Pandai Menulis...

Bacalah, Maka Kamu Pandai Menulis...

Sebuah artikel yang menarik dan menginspirasi, sebagai upaya membudayakan minat membaca kepada segenap siswa- siswi, untuk para Guru dan pegiat pendidikan di Indonesia, seperti berikut;
Sumber gambar: http://www.cinbresweb.com/foto_artikel/medium_48ajis.jpeg

Oleh Indy Hardono 

KOMPAS.com - Sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer secara khusus memberikan komentar tentang tokoh yang sering disebut oleh pemerintah kolonial sebagai "Indonesia's Grand Old Man, Agus Salim!". Bahkan, orang Belanda memujinya dengan mengatakan "Salim op zijn best"!

Salim adalah prototip pejuang Indonesia yang mengenyam pendidikan Belanda dan juga seorang otodidak. Ia adalah diplomat yang memiliki kemampuan berdebat cerdas, menguasai bahasa asing dengan baik, -- 7 bahasa asing dikuasainya antara lain Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Arab, Turki dan Jepang, -- dan menulis dengan militan. 

Laki-laki kurus kecil asal Batusangkar, Sumatera Barat, yang selalu menghisap rokok kretek itu tidak perlu mengemis untuk sebuah paspor hitam untuk "mengaum" di meja-meja diplomasi dunia. Salim diakui kepiawaian dalam berdiplomasi. Ia punya skil komunikasi tutur dan tulis sangat mumpuni yang menjadi modal utamanya sebagai diplomat.

Sosok Salim kelak akan menjadi pemantik "spesies" yang lebih hebat seperti Soekarno, Tan Malaka, Muhammad Hatta, M Natsir, Hamka dan lainnya. Kesemuanya bisa dialektika, membaca, dan menulis dengan sempurna.

Buku dan pena

Budaya membaca dan menulis seyogianya harus ditularkan dan diinspirasi dari seorang pemimpin. Bung Karno, yang sangat "gila" membaca, mewariskan buku sekaliber Di Bawah Bendera Revolusikepada bangsa ini.

Hatta dan 11 peti berisi buku yang dibawanya pulang ke tanah air setelah tafakur intelektualnya selama kurang lebih 11 tahun di Negeri Kincir Angin pun begitu. OA membuktikan bahwa buku adalah amunisi bagi perjuangan, sementara pena adalah meriamnya untuk memenangkan perjuangan itu.

Tentu, di era sekarang, kita pun masih membutuhkan buku dan pena sebagai amunisi dan meriam dalam era regionalisasi dan globalisasi ini. Bahkan lebih!

Faktanya, dan ini mengkhawatirkan, bahwa budaya membaca di Indonesia masih kurang. Itu kalau tak mau dikatakan memprihatinkan.

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO 2012) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Itu artinya, pada setiap 1.000 orang hanya ada satu orang yang punya minat membaca.

Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Tidak usah dibandingkan dengan Jepang dan Amerika yang rata-rata membaca 10-20 buku pertahun. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN, yang membaca 2-3 buku per tahun, kita pun masih sangat ketinggalan (Kompas: Membaca Sebagai Jendela untuk Melihat Dunia).

Melihat itu, kita tentu membutuhkan generasi muda yang ada "garam" dalam setiap ucapannya, dan militan dalam tulisannya. Seperti tulisan-tulisan Agus Salim, Soekarno atau Hatta.

Sejatinya, Indonesia membutuhkan generasi muda yang menjadikan buku sebagai jendela pengetahuan untuk mendapatkan cakrawala ilmu dan kearifan. Generasi yang memiliki karakter ulama (agamis), intelektual, diplomat, satrawan, ahli debat ulung, dan guru yang  jenius. Juga, seperti Agus Salim atau Hamka.

M LATIEF/KOMPAS.com
Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Tidak usah dibandingkan dengan Jepang dan Amerika yang rata-rata membaca 10-20 buku pertahun. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN, yang membaca 2-3 buku per tahun, kita pun masih sangat ketinggalan
Iqra


Dalam Islam, membaca merupakan perintah pertama yang diperintahkan Allah SWT. Hal itu tersebut dalam Al Qur'an surat Al- Alaq ayat 1-5. Iqra! Bacalah... 

"Membaca" adalah memahami hakikat dari segala yang tersirat, dan bukan hanya yang tersurat. Membaca bukan hanya dengan indra penglihatan. 

Seperti dijelaskan oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya,Membumikan Al-Quran, kata Iqra dalam ayat tersebut, berarti "Bacalah"!. Itu perintah membaca, yang berasal dari kata qara’ayang mengandung arti menghimpun, menelaah, membaca, meneliti dan mendalami (tafakur). Tidakkah itu serupa dengan metodologi riset dalam istilah modern masa kini? 

Mari kita bangun kembali budaya baca dan tulis yang sebenarnya sudah kita warisi. Kita bisa memulainya dari lingkungan terkecil dan terdekat. Semua itu tentu untuk membangun (kembali) peradaban kita!

"Ilmu adalah buruan, dan tulisan adalah ikatannya. Ikatlah buruanmu dengan ikatan yang kuat, yakni menuliskannya." Itulah yang dikatakan Sayyidina Ali, sahabat Nabi Muhammad SAW.

Penulis adalah pemerhati pendidikan dan bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta.
Editor: Latief
sumber:http://edukasi.kompas.com/read/2016/02/22/17110071/Bacalah.Maka.Kamu.Pandai.Menulis.
Materi kelas 6 SD BSE (Buku Sekolah Elektronik) IPA dan Lingkunganku karya: Mulyati Arifin, Mimin, dan Muslim


Lihat selengkapnya Klik Disini
Materi kelas 6 SD BSE (Buku Sekolah Elektronik) Belajar Matematika itu Mudah karya: Taufik Hidayat dan Andika Arisetyawan


Selengkapnya Klik Disini

Materi IPS Kelas 6 SD

Materi IPS kelas 6 BSE (Buku Sekolah Elektronik) karya Sutoyo dan Leo Agung

selengkapnya klik Disini

Materi Kelas 6 Sekolah Dasar

Materi kelas 6 SD BSE (Buku Sekolah Elektronik) Matematika karya: Lusia Tri Astuti dan P. Sunardi




Lihat selengkapnya Klik Disini